Belajar dari Kasus Minamata dan Tragedi Teluk Buyat
Beberapa bulan terakhir ini masyarakat Sambas (khususnya Desa Lubuk Dagang, Desa Tanjung Bugis, Pasar Melayu, Durian, Dusun Lubuk Lagak dan Desa Sabong) disesalkan dengan keruhnya air sungai yang datang dari perairan Sungai Tebarau. Tidak hanya di Perairan Sambas, terdeteksi juga di daerah perairan Sebawi, Perairan Sungai Tebas dan Selakau mengalamai hal yang sama. Penyebab keruhnya perairan disebabkan oleh kegiatan penambangan emas tanpa izin (PETI) di perhuluan Sungai Tebarau. Seperti yang dimuat di koran ini tanggal 7 Mei 2008, didapati ada 30 mesin dong feng di sepanjang tepi sungai, di kawasan Dusun Karangan, Desa Madak, Kecamatan Subah.
Kegiatan pertambangan termasuk PETI di perairan Sungai Tebarau merupakan pengambilan logam dari sumbernya termasuk logam berat dalam pengambilan emas. Biji primer yang terbungkus oleh mineral sulfida yang kaya akan logam-logam diekstraksi untuk memperoleh emas dan kemudian sulfida tersebut dibuang ke alam (Ginting dalam Alfian, 2006). Logam berat yang digunakan untuk penambangan emas ini adalah merkuri yang berfungsi untuk memisahkan biji emas dari pengotor-pengotornya. Limbah yang mengandung merkuri dibuang ke perairan sungai.
Baca juga, karakteristik logam berat merkuri.
Perairan yang telah tercemar merkuri bukan hanya membahayakan komunitas biota yang hidup dalam perairan tersebut, tetapi juga akan membahayakan kesehatan manusia. Hal ini karena sifat logam berat yang persisten pada lingkungan, bersifat toksik pada konsentrasi tinggi dan cendrung terakumulasi pada biota (Kennish dalam Masriani dan Eny E, 2003). Senyawa metil merkuri yang merupakan hasil dari limbah penambangan emas masuk ke dalam rantai makanan, terakumulasi pada ikan dan biota sungai. Merkuri, khususnya bentuk organik, pada umumnya meningkat sesuai tingkat trofik (Connell dan Miller, 2006:369). Manusia sebagai trofik tertinggi akan mengalami keracunan jika memakan ikan dan biota perairan yang tercemar logam tersebut.
Semua bentuk merkuri baik dalam bentuk metil maupun dalam bentuk alkil yang masuk ke dalam tubuh manusia secara terus-menerus akan menyebabkan kerusakan permanen pada otak, hati dan ginjal (Roger, et al dalam Alfian, 2006).
Ion merkuri menyebabkan pengaruh toksik, karena terjadinya proses presipitasi protein menghambat aktivitas enzim dan bertindak sebagai bahan yang korosif. Merkuri juga terikat oleh gugus sulfhidril, fosforil, karboksil, amida dan amina, di mana dalam gugus tersebut merkuri dapat menghambat fungsi enzim.
Bentuk organik seperti metil-merkuri, sekitar 90% diabsorpsi oleh dinding usus, hal ini jauh lebih besar daripada bentuk anorganik (HgCl2) yang hanya sekitar 10%. Akan tetapi bentuk merkuri anorganik ini kurang bersifat korosif daripada bentuk organik. Bentuk organik tersebut juga dapat menembus barrier darah dan plasenta sehingga dapat menimbulkan pengaruh teratogenik dan gangguan syaraf (Darmono dalam Alfian, 2006).
Baca juga, dampak merkuri terhadap manusia dan lingkungan.
Alkil merkuri merupakan komponen yang paling beracun karena mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1) Alkil merkuri dengan mudah melakukan penetrasi dan terkumpul di dalam tenunan otak karena komponen ini mudah menembus membran biologi.
2) Alkil merkuri mempunyai waktu retensi yang lama di dalam tubuh sehingga konsentrasi di dalam tubuh semakin lama semakin tinggi, meskipun dosis yang masuk ke dalam tubuh makin rendah. Komponen ini diperkirakan mempunyai waktu paruh di dalam tubuh selama 70 hari.
3) Alkil merkuri dapat dibentuk dari merkuri anorganik oleh aktifitas mikroorganisme anaerobik tertentu (Novick dalam Fardiaz, 1992).
Apa hubungannya dengan kasus Minamata dan tragedi Teluk Buyat?
Kasus toksisitas metil merkuri pada manusia, baik anak maupun orang dewasa, diberitakan besar-besaran pasca Perang Dunia ke-2 di Jepang, yang disebut “Minamata Disease”. Tragedi yang dikenal dengan Penyakit Minamata, berdasarkan penelitian ditemukan penduduk di sekitar kawasan tersebut memakan ikan yang berasal dari laut sekitar Teluk Minamata yang mengandung merkuri yang berasal dari buangan sisa industri plastik (Pervaneh dalam Alfian, 2006). Tragedi ini telah memakan korban lebih kurang 100 orang pada tahun 1953 sampai 1960. Dari korban ini ada yang meninggal atau mengalami cacat seumur hidup (Hutabarat, 1985:198). Gejala keanehan mental dan cacat syaraf mulai tampak terutama pada anak-anak.
Penyakit minamata adalah penyakit gangguan sistem syaraf pusat yang disebabkan oleh keracunan metil merkuri (Martono, 2005). Gejala yang timbul adalah sebagai berikut:
1) Gangguan syaraf sensori: paraesthesia, kepekaan menurun dan sulit menggerakkan jari tangan dan kaki, penglihatan menyempit, daya pendengaran menurun, serta rasa nyeri pada lengan dan paha.
2) Gangguan syaraf motorik: lemah, sulit berdiri, mudah jatuh, ataksia, tremor, gerakan lambat dan sulit bicara.
3) Gangguan lain: gangguan mental, sakit kepala dan hipersalivasi (Alfian, 2006).
Di Indonesia, sejak tahun 1996 perairan Teluk Buyat Provinsi Sulawesi Utara telah dijadikan tempat pembuangan tailing (limbah hasil tambang emas) oleh PT Newmont Minahawa Raya (PT NMR). Efek dari efektivitas tersebut diduga bukan hanya terjadi pada teluk itu sendiri tetapi pada daerah sekitarnya (Teluk Totok dan Kotabunan). Kasus pencemaran merkuri di Teluk Buyat juga telah meminta korban, tragedi kemanusiaan yang dipicu ketidakadilan pembangunan ekonomi ini, telah meminta korban nyawa bocah lima bulan Andini Lenzun.
Urairan tentang kasus minamata dan tragedi di Teluk Buyat dimaksudkan agar keteledoran tidak terulang di daerah-daerah lain di Indonesia termasuk di bumi khatulistiwa ini. Saat ini merupakan momentum yang tepat untuk meningkatkan kewaspadaan dini terhadap resiko lingkungan yang cenderung dapat menimbulkan bencana lingkungan. Hal ini semakin relevan karena dewasa ini tidak sedikit kegiatan industri dan pertambangan yang diduga berpotensi terjadinya pencemaran merkuri di lingkungan. Oleh karena itu diperlukan upaya pengawasan lingkungan yang efektif terhadap kegiatan industri yang membuang limbahnya ke lingkungan.
Jika kasus seperti yang terjadi di Teluk Minamata dan Teluk Buyat terjadi di Kalimantan Barat, diperlukan biaya dan waktu yang sangat banyak untuk memulihkan dan menangani kasus pencemaran merkuri, terutama untuk upaya intervensi penyehatan lingkungan dan penanganan penderita.
Kegiatan pertambangan termasuk PETI di perairan Sungai Tebarau merupakan pengambilan logam dari sumbernya termasuk logam berat dalam pengambilan emas. Biji primer yang terbungkus oleh mineral sulfida yang kaya akan logam-logam diekstraksi untuk memperoleh emas dan kemudian sulfida tersebut dibuang ke alam (Ginting dalam Alfian, 2006). Logam berat yang digunakan untuk penambangan emas ini adalah merkuri yang berfungsi untuk memisahkan biji emas dari pengotor-pengotornya. Limbah yang mengandung merkuri dibuang ke perairan sungai.
Baca juga, karakteristik logam berat merkuri.
Perairan yang telah tercemar merkuri bukan hanya membahayakan komunitas biota yang hidup dalam perairan tersebut, tetapi juga akan membahayakan kesehatan manusia. Hal ini karena sifat logam berat yang persisten pada lingkungan, bersifat toksik pada konsentrasi tinggi dan cendrung terakumulasi pada biota (Kennish dalam Masriani dan Eny E, 2003). Senyawa metil merkuri yang merupakan hasil dari limbah penambangan emas masuk ke dalam rantai makanan, terakumulasi pada ikan dan biota sungai. Merkuri, khususnya bentuk organik, pada umumnya meningkat sesuai tingkat trofik (Connell dan Miller, 2006:369). Manusia sebagai trofik tertinggi akan mengalami keracunan jika memakan ikan dan biota perairan yang tercemar logam tersebut.
Semua bentuk merkuri baik dalam bentuk metil maupun dalam bentuk alkil yang masuk ke dalam tubuh manusia secara terus-menerus akan menyebabkan kerusakan permanen pada otak, hati dan ginjal (Roger, et al dalam Alfian, 2006).
Ion merkuri menyebabkan pengaruh toksik, karena terjadinya proses presipitasi protein menghambat aktivitas enzim dan bertindak sebagai bahan yang korosif. Merkuri juga terikat oleh gugus sulfhidril, fosforil, karboksil, amida dan amina, di mana dalam gugus tersebut merkuri dapat menghambat fungsi enzim.
Bentuk organik seperti metil-merkuri, sekitar 90% diabsorpsi oleh dinding usus, hal ini jauh lebih besar daripada bentuk anorganik (HgCl2) yang hanya sekitar 10%. Akan tetapi bentuk merkuri anorganik ini kurang bersifat korosif daripada bentuk organik. Bentuk organik tersebut juga dapat menembus barrier darah dan plasenta sehingga dapat menimbulkan pengaruh teratogenik dan gangguan syaraf (Darmono dalam Alfian, 2006).
Baca juga, dampak merkuri terhadap manusia dan lingkungan.
1) Alkil merkuri dengan mudah melakukan penetrasi dan terkumpul di dalam tenunan otak karena komponen ini mudah menembus membran biologi.
2) Alkil merkuri mempunyai waktu retensi yang lama di dalam tubuh sehingga konsentrasi di dalam tubuh semakin lama semakin tinggi, meskipun dosis yang masuk ke dalam tubuh makin rendah. Komponen ini diperkirakan mempunyai waktu paruh di dalam tubuh selama 70 hari.
3) Alkil merkuri dapat dibentuk dari merkuri anorganik oleh aktifitas mikroorganisme anaerobik tertentu (Novick dalam Fardiaz, 1992).
Apa hubungannya dengan kasus Minamata dan tragedi Teluk Buyat?
Kasus toksisitas metil merkuri pada manusia, baik anak maupun orang dewasa, diberitakan besar-besaran pasca Perang Dunia ke-2 di Jepang, yang disebut “Minamata Disease”. Tragedi yang dikenal dengan Penyakit Minamata, berdasarkan penelitian ditemukan penduduk di sekitar kawasan tersebut memakan ikan yang berasal dari laut sekitar Teluk Minamata yang mengandung merkuri yang berasal dari buangan sisa industri plastik (Pervaneh dalam Alfian, 2006). Tragedi ini telah memakan korban lebih kurang 100 orang pada tahun 1953 sampai 1960. Dari korban ini ada yang meninggal atau mengalami cacat seumur hidup (Hutabarat, 1985:198). Gejala keanehan mental dan cacat syaraf mulai tampak terutama pada anak-anak.
Penyakit minamata adalah penyakit gangguan sistem syaraf pusat yang disebabkan oleh keracunan metil merkuri (Martono, 2005). Gejala yang timbul adalah sebagai berikut:
1) Gangguan syaraf sensori: paraesthesia, kepekaan menurun dan sulit menggerakkan jari tangan dan kaki, penglihatan menyempit, daya pendengaran menurun, serta rasa nyeri pada lengan dan paha.
2) Gangguan syaraf motorik: lemah, sulit berdiri, mudah jatuh, ataksia, tremor, gerakan lambat dan sulit bicara.
3) Gangguan lain: gangguan mental, sakit kepala dan hipersalivasi (Alfian, 2006).
Di Indonesia, sejak tahun 1996 perairan Teluk Buyat Provinsi Sulawesi Utara telah dijadikan tempat pembuangan tailing (limbah hasil tambang emas) oleh PT Newmont Minahawa Raya (PT NMR). Efek dari efektivitas tersebut diduga bukan hanya terjadi pada teluk itu sendiri tetapi pada daerah sekitarnya (Teluk Totok dan Kotabunan). Kasus pencemaran merkuri di Teluk Buyat juga telah meminta korban, tragedi kemanusiaan yang dipicu ketidakadilan pembangunan ekonomi ini, telah meminta korban nyawa bocah lima bulan Andini Lenzun.
Urairan tentang kasus minamata dan tragedi di Teluk Buyat dimaksudkan agar keteledoran tidak terulang di daerah-daerah lain di Indonesia termasuk di bumi khatulistiwa ini. Saat ini merupakan momentum yang tepat untuk meningkatkan kewaspadaan dini terhadap resiko lingkungan yang cenderung dapat menimbulkan bencana lingkungan. Hal ini semakin relevan karena dewasa ini tidak sedikit kegiatan industri dan pertambangan yang diduga berpotensi terjadinya pencemaran merkuri di lingkungan. Oleh karena itu diperlukan upaya pengawasan lingkungan yang efektif terhadap kegiatan industri yang membuang limbahnya ke lingkungan.
Jika kasus seperti yang terjadi di Teluk Minamata dan Teluk Buyat terjadi di Kalimantan Barat, diperlukan biaya dan waktu yang sangat banyak untuk memulihkan dan menangani kasus pencemaran merkuri, terutama untuk upaya intervensi penyehatan lingkungan dan penanganan penderita.
Komentar
Posting Komentar